Senin, 07 Juni 2010

Kebangkrutan Pemimpin Arab Menghadapi Israel?

Sejarah kekalahan bangsa Arab dalam perang tahun 1967, yang mengakibatkan dicaploknya tanah Palestina, termasuk Al-Aqsha, tempat yang dimuliakan oleh umat Islam, hanyalah memberikan gambaran betapa absurdnya bangsa Arab, ketika berhadapan dengan Israel.
Tetapi, kekalahan bangsa Arab dalam perang melawan Israel, tak lain hanyalah menunjukan kebangkrutan para rejim di negara-negara Arab, yang terus mengalami dekadensi (kemorosotan) moral.
Hanya beberapa bulan, sesudah berlangsungnya perang, pasukan tentara Jordan, dan sekelompok pejuang (fedayeen) bertempur dengan pasukan Israel di Karamah, yang di wilayah Jerusalem Timur, dan menyebabkan banyaknya korban dari kalangan Arab, dan hanya 80 tentara Israel yang terbunuh.
Kekalahan bangsa Arab melawan Israel dalam perang tahun 1967, menyisakan perasaan trauma, yang dalam dikalangan para pemimpin Arab, dan mereka akhirnya memilih jalan politik. Mereka tidak lagi ingin bertempur dengan Israel. Mereka para pemimpin Arab, justru melucuti para gerakan pembebasan yang membebaskan Palestina dari jajahan Israel.
Kekalahan militer Arab dalam perang melawan Israel dalam perang tahun 1967, menjadi titik balik, semangat perjuangan para pemimpin Arab, kemudian lebih memilih jalan damai dan diplomasi. Sampai pada tingkat mereka menelanjangi gerakan perjuangan seperti PLO, yang akhirnya mengubah asas perjuangan dari militer ke diplomasi dan politik. Pergeseran ini tak lain, ekses dari sikap dan pandangan para pemimpin Arab yang sudah tidak ingin lagi berperang melawan Israel. Mereka sudah merasa tidak mampu lagi melawan Israel.
Maka, penelanjangan terhadap gerakan-gerakan perjuangan bersenjata di Palestina dan tanah Arab, bukan hanya menghadapi Amerika dan Israel, tetapi mereka justru yang paling kejam menghadapi para rejim Arab, yang mereka lebih bersikap bersahabat dengan Amerika dan Israel dibanding dengan gerakan-gerakan pembebasan di tanah Palestina.
Hanya ada sedikit episode yang menggembirakan dalam sejarah di tahun 1973, yang dikenal dengan perang Oktober di bulan Ramadhan, di mana pasukan Mesir dan Syria berhasil mengalahkan Israel di Semenanjung Sinai, tetapi Amerika melakukan dukungan militer, lewat darat dan udara secara massive kepada Israel, termasuk armada pasukan Nato dikerahkan untuk menyelamatkan Israel. Dan, sesudah itu Presiden Mesir Anwar Sadat, tangannya diikat dengan perjanjian Camp David, dan hanya mendapatkan tanah Sinai. Tetapi, Gaza, Tepi Barat, dan Jerusalem Timur, serta Dataran Tinggi Golan tetap dijajah Israel, sampai hari ini.
Di balik kekalahan bangsa Arab dalam perang tahun 1967, di mulai lebih dahulu oleh Israel melakukan kampanye kepada kalangan Arab, dan Israel menggukan para imigran Yahudi yang fasih berbahasa arab. Mereka melakukan kampanye dikalangan masyarakat Arab. Tentu, yang menjadi sasaran mereka adalah para pemimpin Arab. Mereka memberikan gambaran kepada para pemimpin Arab, bahwa orang-orang Yahudi itu sangat baik. Inilah awal penjajahan yang dijalankan oleh Israel dikalangan para pemimpin Arab.
Sebagian kalangan pemimpin Arab merasa optimis akan memasuki era baru, khususnya dalam membangun hubungan dengan Yahudi. Para propangandis Yahudi itu, mengatakan kepada para pemimpin Arab, kami sangat mencintai bangsa Arab. Karena itu, para pemimpin Arab, mempunyai kesimpulan, "Oh, mereka baik, kemudian rakyat Jordania, mereka (Yahudi) itu sangat beradab dan menghormati", dan "Orang Yahudi adalah orang yang terdidik, mereka memiliki sikap yang mulia dan memiliki respek yang tinggi", serta "Pemerintah Israel itu menghargai kesetaraan kepada setiap orang".
Itulah opini yang dibangun para misionaris Yahudi, yang telah menelusup ke pusat-pusat kekuasaan di seantero negara Arab. Pantas kalau mereka lebih mencintai Yahudi, dibandingkan bangsa Palestina, yang sekarang menghadapi sekarat. Dan, mereka tetap tidak peduli.
Satu-satunya penguasa Arab, yang masih memiliki tanggungjawab dan kesadaran membela rakyat Palestina adalah Raja Arab Saudi, Faisal. Faisal menggunakan kekayaan minyaknya untuk membela rakyat Palestina. Dengan melakukan embargo minyak terhadap negara-negara Barat, yang menjadi pendukung Israel semuanya kolaps (ambruk). Tetapi, tak lama Raja Faisal di bunuh oleh keponakannya sendiri yang baru pulang dari Amerika, yang memang sudah diatur oleh CIA.
Sejak itu tidak ada lagi yang tersisa di dunia Arab, yang berani melawan Israel. Mereka lebih bersahabat dengan Israel, yang didukung Amerika. Apalagi, Amerika yang sejatinya dibelakangnya adalah Israel terus mengobarkan perang di Teluk, dan mengakibatkan pemerintahan di negara-negara Arab dan Teluk terus menggigil, dan ketakutan, kemudian mereka menyerahkan diri kepada Israel dan Amerika.
Sebuah episode yang sangat menyedihkan. Israel dan AS masih memiliki kartu 'truf' untuk menakut-nakuti para pemimpin Arab dan Teluk, tentang isu nuklir 'Iran', yang seperti hantu, yang sangat menakutkan. Tetapi, ketika berlangsung konferensi perlucutan senjata nuklir di Washington, yang diselenggarakan Presiden Obama, justru Israel, yang memiliki 100-200 hulu ledak nuklir menolak hadir, dan juga menolak menandatangani perjanjian perlucutan senjata nuklir. Netanyahu menolak mentah-mentah.
Rakyat Palestina tetap saja, bagaikan yatim piatu, yang tidak memiliki pembela siapa-siapa. Kekuatan LSM-LSM yang bergerak dalam bidang kemanusiaan, tidak akan dapat mendobrak blokade Israel. Apalagi, Mesir yang memiliki hubungan diplomatik dengan Israel sejak tahun l973, sampai hari ini, ikut melakukan blokade terhadap rakyat Palestina di Gaza.
Inilah kebangkrutan dan dekandensi para pemimpin Arab, yang sangat tega membiarkan rakyat Palestina terus dijajah dan ditindas oleh Israel. Wallahu'alam. (Eramuslim)

Jumat, 04 Juni 2010

Dagelan Penggerebegan Teroris


Seorang wartawan senior, Hanibal Wijayanta (ANTV) menuliskan berbagai kejanggalan dalam penyergapan tersangka teroris yang dilakukan oleh densus 88. Tulisan tersebut dimuat dalam facebooknya tertanggal 13 Mei 2010 dan banyak dikutip secara bebas oleh situs maupun milis lainnya. Berikut tulisan lengkap beliau!

Ada banyak kejanggalan dalam operasi penggerebegan teroris di Solo hari ini. Ada apa sebenarnya?

Beberapa hari terakhir masyarakat kembali dikejutkan oleh operasi penangkapan dan penembakan
teroris. Pekan lalu, belasan orang ditangkap di kawasan Pejaten, yang hanya berjarak sekitar 2 kilometer dari markas Badan Intelijen Negara (BIN). Rabu siang lalu (12/5) sekelompok orang ditangkap di Cikampek, Jawa Barat, dan menewaskan dua orang di antara mereka. Beberapa jam kemudian, tiga tersangka teroris juga diterjang timah panas polisi dan tewas saat turun dari taksi di keramaian jalan Sutoyo Siswomihardjo, kawasan Cililitan, Jakarta Selatan.

Lewat corong media massa, polisi mengatakan bahwa mereka adalah tersangka
teroris. Awalnya polisi baru mengatakan bahwa mereka terlibat dalam kasus teroris Aceh yang ditangkap dan didor dua bulan lalu. Belakangan, polisi mengatakan bahwa mereka juga terlibat kasus bom Marriott dan bom Kedubes Australia. Bahkan kabarnya salah seorang tersangka yang ditembak polisi adalah Umar Patek, salah satu pelaku Bom Bali I, yang sempat diberitakan tewas di Filipina.

Hari ini, Kamis (13/5) polisi ternyata sudah langsung bergerak ke Solo, termasuk komandan lapangan Densus 88 Kombes Muhammad Syafei yang sampai kemarin sore masih berada di Cikampek. Sang Kombes juga sempat memberikan clue kepada tim liputan kami bahwa, "Akan ada gunung meletus di Solo." Di Solo polisi ternyata menangkap tiga orang tersangka, entah di mana ditangkapnya, kemudian menyerbu sebuah rumah bengkel. Di tempat inilah polisi menemukan sepucuk M-16, pistol, peluru, dan buku-buku jihad (!)... Hmmm... Sigap nian polisi kita.

Namun ada yang menarik dalam penggerebegan
teroris di Solo kali ini. Sebab, sebelum penggerebegan itu, polisi sempat menggelar brieffing terlebih dahulu dan persiapan-persiapan seperlunya di sebuah rumah makan. Di tempat itu pula -di pinggir jalan- mereka baru memakai rompi anti peluru setelah melempar-lemparkannya sebentar di antara mereka, memasang sabuk, penutup kepala, senjata api dan persiapan-persiapan lain. Beberapa warga yang melintas sempat menonton mereka show of force, dan terkagum-kagum heran melihat semua persiapan itu. "Wah, iki Densus 88 yo, Mas, edan tenan...," kata seorang warga.

Acara persiapan pra penyerbuan yang sangat terbuka seperti ini tentu saja jarang terlihat pada penggerebegan sebelumnya. Pada penyerbuan-penyerbuan sebelumnya, biasanya polisi sudah memakai pakaian tempur lengkap dan masuk ke lokasi di malam hari atau pagi buta. Sementara pada acara persiapan tadi pagi, matahari sudah mulai hangat di tengkuk. Saat itu sebenarnya beberapa wartawan cetak dan elektronik sudah mulai berdatangan ke rumah makan itu. Sayang mereka tidak berani mengambil momentum bersejarah ini...

Nah, setelah semua anggota lapangan memakai peralatan rapi, mereka lalu masuk ke mobil dan langsung bergerak. Hanya bergerak sebentar tiba-tiba mobil-mobil Densus 88 itu berhenti. Para anggota lapangan pun bergerak mengepung sekitar lokasi dan kemudian memasuki rumah yang dipakai menjadi bengkel itu. Para wartawan yang mengikuti mereka sampai tergopoh-gopoh karena terkejut. Mereka tidak mengira rumah sasaran sedekat itu. Tahukah anda, berapa jaraknya dari rumah makan tadi? Hanya 200 meter, dan terlihat jelas dari restoran tadi!!

Maka drama penggerebegan yang tidak lucu itu pun terjadi. Para wartawan bisa mendekat ke TKP bahkan sampai ke pintu rumah bengkel tadi. Para anggota Densus 88 itu pun bisa diambil gambarnya dalam jarak dekat. Mereka sama-sekali tidak berusaha menghalangi atau melarang, mereka juga tidak mengusir para wartawan. Para petugas membiarkan para cameraman televisi mengambil gambar hingga di pintu rumah itu, dan bisa mengambil gambar ketika anggota densus 88 berada di salah satu ruangan.

Dalam rekaman para cameraman televisi, Lazuardi reporter/cameraman Metro TV dan Ecep S Yasa, dari TV-One tampak diberi privilege untuk mengambil gambar terlebih dahulu dari wartawan lain. Meskipun demikian mereka juga sempat disuruh keluar terlebih dahulu, "Nanti dulu-nanti dulu, belum siap," kata seorang anggota Densus 88. Para wartawan sempat bertanya-tanya, apanya yang belum siap. Namun ketika boleh masuk, para wartawan melihat bahwa barang bukti sudah tersusun rapi di lantai.

Yang sangat menarik, bagi wartawan yang sudah biasa meliput penangkapan
teroris, tampak jelas dari bahasa tubuh mereka, bahwa para anggota Densus 88 itu tidak menunjukkan tanda-tanda stres yang menyebabkan adrenalin melonjak. Mereka tampak lebih santai dari pada ketika mereka menggerebeg tersangka teroris sebelumnya. Bahkan mereka menunjukkan kegembiraan yang janggal ketika saling mengacungkan jempol, tos dan sebagainya, setelah operasi dinyatakan berhasil.

Perilaku yang aneh juga tampak ketika para perwira Densus 88 termasuk komandan lapangan mereka, Kombes Muhammad Syafei datang ke rumah bengkel itu dan mau diambil gambarnya oleh para wartawan, bahkan dalam posisi close-up. Padahal selama ini dia dikenal paling alergi dengan kamera wartawan. Tak segan-segan ia menyuruh wartawan mematikan camera atau menghapus gambar yang ada dirinya.

Kejanggalan pun semakin lengkap ketika beberapa warga mengakui bahwa sebenarnya sehari sebelumnya rumah bengkel itu sudah didatangi sejumlah orang bertampang tegap, yang menurut warga adalah polisi.... "Ya mirip mereka-mereka itu, mas...," kata mereka.

Lalu, apa artinya semua ini?

Source : Hanibal Facebook