Selasa, 01 Februari 2011

Antara Gus Dur, Orang Kecewa, dan Tak Normal

Salah satu kebiasaan sebagian intelektual Indonesia adalah mendirikan organisasi, lembaga, dan sebagainya. Ketika baru didirikan atau dideklarasikan, banyak tokoh-tokoh yang terlibat, dan diliput media massa, sehingga dalam waktu singkat eksistensinya ‘diakui’ secara nasional. Namun tak berapa lama, suaranya sayup-sayup sampai hingga nyaris tak terdengar.

Gus Dur merupakan salah satu anak bangsa yang Indonesia banget, gitu loch. Terutama, bila dilihat dari kegemarannya mendeklarasikan organisasi. Belum lama ini, Rabu 3 Desember 2008 Gus Dur membentuk organisasi baru, yang ditujukan sebagai wadah menghimpun para pendukungnya yang merasa kecewa dengan PKB di bawah pimpinan Muhaimin Iskandar. Namanya, GATARA (Gerakan Kebangkitan Rakyat).

Gatara dideklarasikan Gus Dur bersama sejumlah tokoh politik di kantor Wahid Institute. Pada saat deklarasi, antara lain hadir sejumlah tokoh nasional seperti Akbar Tanjung, Rizal Ramli, Sutiyoso, Mochtar Pakpahan, dan sebagainya.

Bila Gus Dur mengatakan Gatara didirikan untuk menghimpun para pendukungnya yang merasa kecewa dengan PKB di bawah pimpinan Muhaimin Iskandar; maka Yenny putri Gus Dur mengatakan melalui Gatara diharapkan para ulama, kiai, habaib, kaum nahdliyin dan masyarakat umum mampu memberikan sumbangsih terhadap proses demokratisasi politik dan penegakan hukum di Indonesia.

Jadi, Gatara ini bila ditelisik dari temanya, ternyata soal demokrasi juga. Ini rasanya lembaga kedua Gus Dur yang bertema demokrasi. Sebelumnya, Gus Dur pernah punya Forum Demokrasi (Fordem) yang kini senyap setidaknya sejak Gus Dur jadi Presiden. Meski begitu, beberapa aktivis Fordem ada yang sempat menjadi petinggi negara, misalnya Bondan Gunawan, namun belakangan ia terlempar dari ring satu lingkar kekuasaan Gus Dur, sebelum Gus Dur lengser.

Di tahun 2005, Gus Dur ikut berkiprah pada sebuah organisasi yang digagas Anand Krishna. Organisasi itu bernama National Integration Movement, disingkat NIM yang berarti Gerakan Integrasi Nasional. Pada organisasi ini Gus Dur duduk sebagai Ketua Dewan Pembina, yang beranggotakan sejumlah nama diantaranya Siswono Yudohusodo dan Slamet Rahardjo. Mantan Pemimpin Redaksi Kompas, August Parengkuan, duduk sebagai anggota Kehormatan.

Sebagaimana bisa dilihat di www.nationalintegrationmevement.org, NIM didirikan pada tanggal 11 April 2005, di Tugu Proklamasi, Jakarta, sebagai respon atas adanya ancaman terhadap integrasi bangsa, terutama yang disebabkan oleh pertikaian atas nama agama dan etnis, di berbagai wilayah Indonesia. Pendiriannya diinspirasikan oleh tokoh spiritual lintas agama Anand Krishna.

Sebagaimana juga AKKBB yang berupaya menanamkan di benak kita akan adanya bahaya disintegrasi dan sebagainya, NIM juga mempunyai concern yang sama. Sejumlah isu yang potensial untuk diangkat oleh NIM meliputi: ancaman terhadap keutuhan wilayah RI, peraturan dan perundangan yang diskriminatif terhadap kelompok agama tertentu; kebijakan yang merugikan kelompok etnis dan agama tertentu; ancaman atau teror dari kelompok masyarakat tertentu kepada kelompok masyarakat lain; dan sebagainya.

Jangan lupa, Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) dan Anand Krishna termasuk sosok yang namanya ikut mendukung petisi AKKBB yang antara lain dimuat oleh harian Kompas. Salah satu kegiatan NIM adalah menerbitkan berbagai petisi, seperti Petisi Untuk Menolak UU Pornogafi, Petisi Penghapusan Kolom Agama Pada KTP, PETISI untuk Pemerintah Indonesia untuk memperhatikan Pulau Bali, Petisi Pembuatan dan Pemberlakuan Undang-Undang Perlindungan Folklor dan Pengetahuan Tradisional, Petisi Pendidikan Harus Mengantar Kita pada Kebangkitan Indonesia, dan sebagainya.

Nampaknya, ada sekelompok orang yang konsisten menakut-nakuti kita akan adanya bahaya ideologis, akan adanya ancaman disintegrasi, akan adanya bahaya yang ditimbulkan oleh sekelompok orang yang hendak mengubah dasar negara.

Mereka menciptakan sebuah hantu jadi-jadian, yang harus dijadikan musuh bersama. Hantu jadi-jadian yang mereka maksud adalah sekelompok orang yang picik sikap keber-AGAMA-annya, yang suka kekerasan, yang suka memaksakan kehendak, dan sebagainya. Sekelompok orang itu tentu saja bukan Anand Krishna, bukan Gus Dur, bukan Azyumardi Azra, bukan Komaruddin Hidayat, bukan Ulil dan kelompok JIL-nya, bukan Amien Rais, bukan Syafi’i Ma’arif, bukan Jalaluddin Rahmat, bukan Gunawan Mohamad, bukan Amin Abdullah, bukan Moeslim Abdurrahman dan sebagainya

Sementara mereka menciptakan hantu menyeramkan tentang adanya bahaya Islam fundamentalis, bahaya Islam radikal yang hendak mengubah idelogi negara; pada saat bersamaan mereka telah menyusupkan paham yang tidak sekedar sekuler, tidak sekedar plural dan liberal, tetapi atheis dan komunis.

Buktinya, di masa ketika Gus Dur menjadi Presiden, ia menyatakan akan mencabut Tap MPRS No. XXV/l966 tentang larangan ajaran Marxis dan Leninis yang merupakan inti ajaran komunis. Padahal, di Indonesia, penganut komunis sejak sebelum kemerdekaan sudah sering melakukan pemberontakan. Pasca kemerdekaan, 1948, pengikut komunis melakukan pemberontakan di Madiun. Akibatnya, sejumlah pentolah komunis mati, lainnya kabur ke luar negeri, antara lain D.N. Aidit. Namun, di tahun 1950 Aidit kembali ke Indonesia karena Soekarno melakukan rehabilitasi terhadap mereka. Di tahun 1965, penganut komunis kembali melakukan pemberontakan berdarah.

Bila Soekarno pernah merehabilitasi penganut komunis yang pernah berontak di tahun 1948, Gus Dur semasa jadi presiden pernah bertatap muka dengan pelarian politik kasus PKI (komunisme) ketika jalan-jalan ke berbagai negara Eropa, dan di hadapan mereka Gus Dur menjanjikan bahwa mereka dapat kembali ke Indonesia. Untuk menunjukkan keseriusannya, Gus Dur menugaskan Yusril Ihza Mahendra yang ketika itu menjabat sebagai Menkumdang untuk menindak-lanjuti kebijakan Gus Dur terhadap para pelarian politik penganut komunis.

Sebagai presiden, Gus Dur menginginkan untuk menghapus semua undang-undang atau peraturan yang melarang dan membatasi aliran-ideologi seperti komunisme; bahkan ia juga hendak menghapus Departemen Agama, karena departemen ini menurut Gus Dur hanya menguntungkan golongan Islam dan merugikan golongan lainnya.

Gus Dur juga pernah mengusulkan untuk menghapus Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri yang mengatur penyebaran agama dan pendirian tempat ibadah, karena dianggap merugikan golongan Kristen. Selain itu, Gus Dur juga mengusulkan agar kurikulum pendidikan Agama di sekolah-sekolah harus diubah karena menyebabkan siswa menjadi penganut Islam yang fanatik terhadap agamanya.

Usulan Gus Dur berkenaan dengan kurikulum pendidikan agama, sesungguhnya sudah mulai dipraktekkan Harun Nasution sejak 1975-an. Hingga kini, diteruskan oleh generasi pelanjutnya seperti Azyumardi Azra dan Komaruddin Hidayat di UIN (IAIN). Dulu belum terlihat jelas identitas ideologis para pembelok arah IAIN/UIN itu. Barulah setelah lebih dari tiga dasawarsa terjadi kudeta ideologis di UIN/IAIN, mulai diketahui dengan lebih tegas identitas ideologis mereka, yaitu sekelompok orang yang menjajakan ilhadiyah alias neo komunisme.

Masih ada lagi. Semasa menjadi presiden, Gus Dur juga menghendaki agar UU Peradilan Agama yang mengarah pada penerapan syari’ah Islam harus dihapus. Begitu juga dengan UU Perkawinan yang substansinya lebih banyak menguntungkan golongan Islam, harus dihapus. Pada masa-masa itu Gus Dur juga pernah mengusulkan agar Masjid Istiqlal dikelola oleh pengurus yang multi agama, jangan hanya orang Islam.


Gus Dur dan kontes waria

Begitulah faktanya. Gus Dur (dan orang-orang sejenisnya) oleh corong-corong propagandis dan provokator, didengung-dengungkan sebagai tokoh Islam yang cendekia, humanis, plural, toleran, dan seabreg julukan berlebihan lainnya; untuk kemudian dihadapkan dengan sekelompok besar umat Islam yang konsisten dengan ajarannya, selanjutnya untuk diperbandingkan satu sama lain: yang seperti Gus Dur Islamnya baik, yang lainnya jelek, jumud, sempit, tidak toleran dan sebagainya.

Maka, jadilah Gus Dur semacam prototipe Islam yang baik. Konsekuensinya ia dijajakan ke mana-mana. Namanya tidak saja tercantum di dalam berbagai organisasi, namun kehadirannya juga diharapkan pada berbagai event yang tidak ada kaitannya dengan agama atau kecendekiawanan. Misalnya, pada event kontes waria. Di tahun 2006, pada ajang Kontes Waria yang berlangsung awal Agustus, Gus Dur tidak hanya memberikan dukungan moril tetapi juga hadir pada acara yang berlangsung di Diskotek Stardust, Menteng, Jakarta.

Kontes Waria 2006 itu, merupakan kontes yang ketiga kalinya diadakan di Indonesia sejak 2004 lalu. Pada tahun 2005, kontes tersebut mendapat tentangan keras dari FPI. Nah, untuk ‘melawan’ FPI, maka Gus Dur pun dihadirkan oleh para penyelenggara Kontes Waria. Pelu juga diingat, dukungan Kontes Waria tidak saja datang dari Gus Dur, tetapi juga dari Sutiyoso yang kala itu menjabat sebagai Gubernur DKI. Kini, Sutiyoso disebut-sebut akan menclaonkan diri menjadi Presiden RI pada musim pemilu 2009 esok.

Begitulah, Gus Dur diposisikan sebagai Islam ynag ‘baik” sedangkan FPI diposisikan sebagai Islam yang “tidak baik”. Maka, untuk menghalau Islam yang “tidak baik” tadi, perlu dihadirkan Islam yang “baik” ke ajang kontes waria yang menurut kacamata agama apapun juga pastilah merupakan sesuatu yang bertentangan.

Di Indonesia kontes waria yang dijaga ketat oleh kepolisian ini digrebek oleh FPI, lembaga tanpa badan hukum yang didirikan rakyat biasa yang punya misi melawan kemungkaran. Berbeda dengan di Indonesia, di negeri jiran Malaysia, kontes serupa justru digrebek oleh aparat berwenang.

Sebagaimana diberitakan Gatra.Com edisi Rabu, 30 Oktober 2002 dengan judul Malaysia Grebek Kontes Waria sejumlah petugas termasuk aparat kepolisian Malaysia menyerang kontes Ratu Paperdolls 2002 Senin malam di Muar, kota kecil di negara bagian Johor selatan. Tentu saja para waria itu lari pontang-panting dan sebagian dari mereka ada yang berusaha menghindari penangkapan dengan bersembunyi di dalam ruang rahasia di tempat itu. Menurut suratkabar setempat 80 dari 200 waria telah ditahan.

Padahal, boleh jadi kontes waria di Indonesia terinspirasi oleh kontes serupa di negeri jiran yang digrebek aparat berwenang di sana. Ironisnya, di Indonesia kontes waria selain mendapat penjagaan ketat aparat kepolisian, mendapat dukungan dari Gubernur DKI dan mantan Presiden RI, juga didukung oleh Ruhut Sitompul lawyer kenamaan. Padahal, menurut kacamata social, fenomena waria merupakan salah satu penyakit masyarakat (pathologi sosial). Di tempat lain, penyakit seperti itu cenderung diberantas, tetapi di Indonesia malah dibela-bela. Apakah ada orang sehat yang membela penyakit?

MUI telah memfatwakan tentang kedudukan waria.

Berikut ini kutipan fatwa MUI tentang kedudukan waria:

Mengingat:

Hadits Nabi SAW yang menyatakan bahwa laki-laki berperilaku dan berpenampilan seperti wanita (dengan sengaja), demikian juga sebaliknya, hukumnya adalah haram dan dilarang agama.

Hadits menegaskan;

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ لَعَنَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - الْمُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ ، وَالْمُتَرَجِّلاَتِ مِنَ النِّسَاءِ

Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Nabi shalllallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang berpenampilan perempuan dan perempuan yang berpenampilan laki-laki. (HR Al-Bukhari).

Atas dasar hal-hal tersebut di atas, maka dengan memohon taufiq dan hidayah kepada Allah SWT

Memutuskan

Memfatwakan:

Waria adalah laki-laki dan tidak dapat dipandang sebagai kelompok (jenis kelamin) tersendiri.

Segala perilaku waria yang menyimpang adalah haram dan harus diupayakan untuk dikembalikan pada kodrat semula.

Menghimbau kepada:

Departemen Kesehatan dan Departemen social RI untuk membimbing para waria agar menjadi orang yang normal, dengan menyertakan para psikolog.

Departemen Dalam Negeri RI dan instansi terkait lainnya untuk membubarkan organisasi waria.

Surat keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan bila di kemudian hari terdapat kekeliruan dalam keputusan ini akan diadakan pembetulan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di: Jakarta

Pada tanggal: 1 Nopember 1997

Dewan Pimpinan

Majelis Ulama Indonesia

Ketua Komisi Fatwa MUI Ketua Umum Sekretaris Umum

Prof. KH. Ibrahim Hosen KH. Hasan Basri Drs. HA. Nazri Adlani

Telah ada hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melaknat perilaku berlagaknya lelaki sebagai wanita dan sebaliknya wanita sebagai lelaki. Kemudian sudah ada fatwa MUI yang mengharamkannya, menyatakan penyimpangannya itu haram, agar Depertemen Kesehatan dan Departemen social mendandani mereka supaya jadi normal. Sedang Departemen Dalam Negeri agar membubarkan organisasi waria. Lha kok malahan ada orang yang mengaku sebagai tokoh dari Ummat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam justru mendukung kontes waria yang terlaknat itu. Apakah pantas di akherat kelak akan tetap mengaku sebagai pengikut Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Yang berpihak kepada kelompok tak normal itu secara akal otomatis adalah orang yang tidak normal pula. Tetapi di kalangan orang-orang yang tidak normal, siapa yang tidak normalnya itu dianggap paling tinggi maka dijadikan sebagai model pertama. Dalam kenyataannya, ada orang, karena ia merupakan sebuah prototype (model pertama) yang harus dipamerkan ke mana-mana, maka namanya pun tercantum di berbagai organisasi dan kehadirannya menjadi bumbu tersendiri pada setiap kegiatan, termasuk perayaan natal bersama. Orang itu sendiri tak kuat menahan gejolak mendirikan berbagai organisasi atau memenuhi berbagai undangan, meski harus dituntun-tuntun (karena maaf, tidak dapat melihat). Sehingga, bila diibaratkan dengan pohon, ia bagai tanaman dalam pot yang tidak pernah menjadi besar, tidak pernah bisa berbuah, dan pada gilirannya kekeringan karena sering berjemur di terik matahari. Meski sudah kering, tetap saja dijajakan dan dipamerkan oleh pihak-pihak yang mempunyai kepentingan terhadapnya, dengan mengusung tema “pohon kering yang artistik”. (nahimunkar.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar